Mataram – Di balik deru mesin dan debu jalanan, ada keluh kesah yang semakin berat ditanggung para sopir truk di Nusa Tenggara Barat. Kebijakan Over Dimension Overload (ODOL) yang diterapkan pemerintah pusat kian menyudutkan kelompok pekerja jalanan ini, yang kini merasa digencet tanpa diberi ruang bernapas.
Senin, 23 Juni 2025, ratusan sopir dari berbagai komunitas di NTB tumpah ruah di depan DPRD Provinsi NTB. Mereka datang tidak untuk membuat onar, tapi untuk mengadu, menyuarakan suara kecil yang selama ini terpinggirkan. Driver Batur Sasak (DBS), Paguyuban Driver Lombok Bersatu (PDLB), Driver Sabalong Tode Samawa (DSTS), hingga Comunitas Dum Truck Lombok (CDTL) bersatu dalam satu tuntutan: keadilan.
“Kalau mau menerapkan aturan ODOL, silakan. Tapi beri kami solusi juga. Jangan hanya asal potong. Kalau pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran, bagaimana keluarga kami makan?” kata H. Zulfikri, Ketua Perkumpulan Driver Batur Sasak (DBS) NTB.
Menurutnya, para sopir truk bukan penjahat jalanan yang dengan sengaja melanggar hukum. Mereka adalah korban dari sistem logistik yang belum berpihak pada realitas. Banyak dari mereka menggantungkan hidup dari muatan yang melebihi bak karena permintaan pasar dan harga bahan bakar yang terus naik.
“Jika muatan dibatasi sesuai tinggi bak, maka pembeli material pun akan berpikir ulang. Harga naik, volume turun. Kami kehilangan pelanggan, pendapatan pun hilang,” jelas Zulfikri.
Lebih dari sekadar komunitas profesi, DBS adalah jaring pengaman sosial. Ketika sopir mengalami kecelakaan, sakit, bahkan meninggal dunia, komunitas ini bergerak cepat. Dana solidaritas digalang dan bantuan disalurkan. Ini bukan hanya tentang truk dan muatan, ini soal hidup dan kemanusiaan.
Di sisi lain, Zulfikri juga memuji keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kesadaran pajak kendaraan. Namun jika uji KIR dijalankan tanpa pemahaman terhadap kondisi sopir, hasilnya bisa kontraproduktif.
Meskipun suara kekecewaan menggema, Ketua DBS tetap menyerukan ketenangan. “Kami ingin NTB tetap aman. Jangan sampai ada kekacauan. Tapi kami juga ingin keadilan. Jangan sampai kami yang selama ini sunyi, akhirnya memilih teriak karena tidak didengar,” ujarnya.
Apa yang terjadi di NTB hari itu bukan sekadar protes, tapi sebuah peringatan. Ketika pengemudi truk mulai bicara, artinya mereka sudah terlalu lama diam. Kini, bola ada di tangan pemerintah.