Mataram – Isu dana “siluman” sebesar Rp182 miliar yang belakangan menyeret nama-nama anggota DPRD NTB menyisakan tanda tanya besar tentang bagaimana seharusnya anggaran publik dikelola secara transparan dan bertanggung jawab. Istilah “siluman” muncul bukan tanpa sebab, tetapi karena adanya ketiadaan kejelasan dalam proses penempatan dan penyaluran anggaran tersebut di dalam dokumen resmi APBD.
Kisruh ini bermula dari pernyataan Najamuddin Mustafa, mantan anggota DPRD NTB, yang menyebut adanya alokasi dana sebesar Rp 182 miliar pasca-pemilu legislatif 2024. Dana tersebut diklaim merupakan “sisa” pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD periode sebelumnya dan dibagi-bagikan kepada sejumlah anggota baru. Tudingan ini sontak mengundang reaksi publik dan mendorong aparat penegak hukum untuk turun tangan.
Namun menurut Prof. Dr. Zainal Asikin, SH., SU., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Mataram, ada kemungkinan besar bahwa dana tersebut bukan bersumber dari pokir, melainkan berasal dari dana direktif kepala daerah (Gubernur).
“Dana yang disebut-sebut sebagai dana siluman itu lebih tepat disebut dana direktif. Itu hak prerogatif gubernur, dan tanggung jawabnya ada di eksekutif, bukan legislatif,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Zainal menjelaskan bahwa penggunaan dana dari sumber manapun, baik pokir maupun direktif, tidak menimbulkan masalah hukum jika digunakan sesuai ketentuan.
“Dari mana pun sumber pendanaan, apakah dari Pokir atau Direktif, sepanjang digunakan secara baik, transparan, dan akuntabel, itu sah dan tidak ada masalah hukum,” jelasnya.