Mataram – Gili Trawangan, salah satu destinasi wisata favorit di NTB, mendadak menjadi sorotan bukan karena keindahan alamnya, tetapi karena tragedi kematian tragis Brigadir Muhammad Nurhadi. Malam penuh narkoba, alkohol, dan skandal moral di balik nama besar institusi Polri kini berubah jadi pertaruhan keadilan yang penuh tanda tanya.
Di balik kematian Nurhadi, terkuak fakta bahwa malam itu ia bersama dua perwira polisi Kompol YG dan Ipda HC menggelar pesta pribadi bersama dua perempuan bayaran di sebuah vila mewah. Alkohol, ekstasi, dan riklona mewarnai malam 16 April 2025 itu. Pesta berakhir tragis: Nurhadi ditemukan tak bernyawa di dasar kolam.
Yang lebih mengejutkan, seorang perempuan muda berinisial M, 23 tahun, justru menjadi salah satu tersangka utama. Ia bukan anggota institusi, tidak mengenal korban sebelumnya, dan bahkan baru pertama kali menginjakkan kaki di Lombok atas undangan Kompol YG dengan bayaran Rp 10 juta.
Aliansi Reformasi Polri untuk Masyarakat NTB gabungan lembaga bantuan hukum PBHM NTB, BKBH FHISIP UNRAM, dan LKBH FH UMMAT menilai ada ketidakadilan dalam proses hukum terhadap M. Mereka menyebut indikasi peradilan sesat dan ketimpangan kekuasaan sangat kuat dalam kasus ini.
“Brigadir Nurhadi adalah bawahan langsung dari dua tersangka polisi. M tidak punya motif, tidak punya relasi kuasa, dan secara fisik serta psikis tidak dalam kondisi normal saat kejadian. Tapi justru dia yang dijadikan tersangka seolah sebagai pelaku kunci,” kata perwakilan tim hukum.
Otopsi menunjukkan adanya kekerasan di tubuh Nurhadi sebelum ia tenggelam. Anehnya, narasi awal menyebutkan korban meninggal karena tenggelam. Hal itu langsung dipercaya keluarga hingga jenazah dikuburkan tanpa autopsi. Autopsi baru dilakukan setelah ekshumasi pada 1 Mei 2025 dua pekan kemudian.
Kini, masyarakat mempertanyakan: mengapa justru perempuan muda yang tak punya kuasa diproses lebih dulu, sementara dua perwira polisi nyaris lolos dari sorotan? Siapa sebenarnya yang menenggelamkan Nurhadi ke dasar kolam?