Mataram – Sebuah perlawanan tak biasa meledak di jantung Kota Mataram. Ratusan pengemudi ojek online dan Grab Car dari seluruh penjuru Nusa Tenggara Barat (NTB) berkumpul di depan kantor Grab NTB, menyuarakan satu suara keadilan.
Mereka bukan sekadar memprotes. Hari itu, aplikasi transportasi daring yang selama ini menjadi sandaran hidup mereka, mereka “matikan” secara serempak. Jalanan mendadak lengang, penumpang menunggu sia-sia, dan sistem digital yang biasanya begitu cepat tiba-tiba membeku. Aksi ini bukan hanya simbolik, ini adalah bentuk nyata kekecewaan yang memuncak.
Di antara para orator, nama Danimar menggema paling lantang. Dengan jaket khas pengemudi dan suara bergetar karena amarah yang tertahan, ia menyuarakan jeritan hati koleganya. “Kami sudah terlalu lama dibungkam dengan skema-skema yang tidak transparan. ‘Paket hemat’ dan ‘slot hemat’ hanya membuat kami semakin sulit menghidupi keluarga,” serunya di tengah gemuruh massa.
Menurut para pengemudi, potongan biaya aplikasi yang mereka alami kini jauh melebihi batas regulasi yang ditetapkan pemerintah, mencapai 30 hingga 40 persen dari setiap order. Padahal, peraturan menyebutkan maksimal hanya 15 persen. Celakanya, skema baru yang diberlakukan sejak 14 April justru menurunkan pendapatan mereka secara drastis.
Kebijakan ini, menurut mereka, seolah hanya berlaku di NTB. Wilayah lain seperti Senggigi disebut tidak terdampak. Kecurigaan pun tumbuh, apakah NTB dijadikan “kelinci percobaan” oleh perusahaan raksasa tersebut?
Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB, Lalu Wira Sakti, hadir memberi dukungan moril. Ia memaparkan data konkret, termasuk penurunan pendapatan signifikan akibat program promosi yang dipaksakan ke mitra pengemudi. “Tarif dasar jarak pendek seharusnya Rp10.400. Tapi potongannya bisa mencapai 40 persen. Ini jelas bentuk pelanggaran yang merugikan,” ujarnya.
Tak hanya itu, para pengemudi juga mengungkap praktik “maaf kilometer” di mana aplikasi mencatat jarak tempuh lebih pendek dari kenyataan di lapangan dan selisih itu tidak dibayar. “Bayangkan, dari 25 km jadi 22 km. Ke mana sisa ongkosnya?” tanya salah seorang driver dengan nada getir.
Tak ada satu pun perwakilan Grab NTB yang muncul untuk berdialog. Kantor pun akhirnya disegel secara simbolik. Sebuah pesan kuat bahwa kepercayaan telah runtuh.
Dalam heningnya demonstrasi hari itu, sebuah pesan bergema jelas: jika perusahaan teknologi tak lagi mengutamakan keadilan, maka para pekerja tak punya pilihan selain bangkit, bersuara, dan berjuang meski harus mematikan aplikasi yang selama ini menjadi nadi kehidupan mereka.