Taliwang – Sinar kemilau tambang di Sumbawa Barat nyatanya tak menyentuh semua kalangan. Di balik gegap gempita proyek smelter PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMMAN), tersembunyi kisah-kisah perih dari para pengusaha lokal yang merasa tak pernah menjadi bagian dari mimpi besar di tanah kelahiran mereka sendiri.
Salah satu suara paling lantang datang dari Syam Suryadi, pengusaha lokal asal Jereweh. Ia menyimpan cerita yang barangkali tak asing bagi pelaku usaha lain di lingkar tambang. Cerita tentang harapan yang tak pernah sampai, dan upaya yang terus terbentur tembok ketertutupan.
“Sejak zaman PT Newmont sampai sekarang AMMAN, saya tidak pernah sekali pun dilibatkan, apalagi diberi proyek,” ujar Syam, dengan nada tenang tapi menyiratkan kekecewaan yang dalam.
Bukan hanya soal proyek yang tak kunjung datang, tapi juga ketiadaan informasi dan akses. “Saya bahkan tidak tahu harus ke mana mengajukan proposal. Tidak ada sosialisasi, semua sangat tertutup. Kami seperti tak dianggap ada,” lanjutnya.
Menurut Syam, PT AMMAN lebih memilih perusahaan dari luar daerah, terutama dari Jawa, yang dinilai punya koneksi dan pengalaman. Hal ini menciptakan ketimpangan struktural yang membuat pengusaha lokal terpinggirkan secara sistematis.
“Padahal kami tidak menuntut perlakuan istimewa. Kami hanya ingin diberi kesempatan yang sama, ruang untuk belajar, berkembang, dan membuktikan diri,” kata Syam.
Akibatnya, pengusaha lokal kehilangan banyak hal:
- Mereka gagal mendapatkan pengalaman bekerja sama dengan industri besar.
- Potensi kewirausahaan lokal terhenti di tengah jalan.
- Anak-anak muda tak terserap dalam ekonomi daerah, menjadi pengangguran di tengah peluang yang seharusnya terbuka lebar.
Ironisnya, perputaran ekonomi dari Jereweh hingga Seteluk sepenuhnya menggantungkan diri pada proyek-proyek pemerintah, bukan dari dampak langsung kehadiran industri tambang.