Bedanya itu adalah. Pertama, untuk Utang sebagai skema pembiayaan, akadnya sejak awal adalah Utang. Jadi pengusaha sudah masukkan faktor risiko seperti tenor pembayaran, perubahan kurs mata uang, inflasi, suku bunga dan keuntungan ke dalam rencana biaya proyek. Jadi pengusaha tetap “happy-happy” saja, karena tetap untung walaupun dibayar dalam jangka panjang. Contoh praktek yang bisa kita sebutkan pada kasus ini adalah pinjaman pemprov NTB dari program PEN (pinjaman dari SMI) dan proyek tahun jamak.
Nah, kalau utang yang muncul karena salah tata kelola, seperti yang sekarang banyak kita ributkan ini, pengusaha ngomel karena akadnya bukan Utang dan mekanisme pembayaran pemerintah semestinya pada tahun anggaran berjalan. Jadi pengusaha tidak menghitung elemen resiko lainnya. Dalam hal ini, karena tidak membayar tepat waktu, pemerintah daerah wan prestasi, manajemen keuangannya buruk sekali.
Bahkan dari beberapa keterangan lapangan yang saya dapatkan, untuk menutup risiko bisnis yang tidak mereka hitung itu, ada sebagian dari para kontraktor ini yang menjual mobil atau rumah mereka, dan dikejar-kejar debt collector. Dan sialnya, pejabat publiknya ngomong, itu resiko bisnis, Utang ada sejak zaman Nabi. Pejabat publik ini kehilangan empati, bahaya pejabat publik tanpa sense of crisis ini.
Kedua, untuk menggunakan Utang sebagai mekanisme pembiayaan pembangunan, maka rencana utang itu harus tertuang pada akun pembiayaan penerimaan dengan persetujuan DPRD. Adapun pada kasus yang diributkan saat ini, Utangnya menggunakan DPA tahun berjalan lalu jadi tunggakan pembayaran pada tahun berikutnya.
Defisit APBD 2022 Tembus Rp 1 Triliun
Saya cukup terkejut saat membuka website kementrian keuangan dengan alamat djpk.kemenkeu.go.id , pada website itu dijumpai informasi defisit APBD NTB 2022 besar banget, yaitu mencapai 1,314 Triliun. Yang patut diwaspadai, defisit pada tahun anggaran 2022, potensial menjadi total utang pada tahun anggaran 2023. Informasi dari website kementrian keuangan tadi, coba untuk saya klarifikasi melalui beberapa cara, yaitu:
Pertama, saya berusaha mengontak beberapa sumber saya di DPRD Udayana, juga sumber lain dari birokrat senior untuk mengklarifikasi soal defisit APBD tersebut. Mereka mengakui bahwa Sebagian asumsi pendapatan daerah memang ada yang “bodong”, basis hitungannya kurang jelas dan kurang teknokratik. Asumsi bodongnya itu mengejutkan, dengan taksiran jumlah yang membuat saya ternganga, ratusan milyar. Saya langsung menepuk jidat, pantesan banyak kontraktor yang nggak terbayar tepat waktu ya.
Kedua, dari dokumen LKPJ tahun 2022 yang saya peroleh, hitungan realisasi Pendapatan tahun 2022 angkanya berbeda jauh dengan update dari website Kementrian Keuangan. Pada LKPJ disebutkan realisasi pendapatan mencapai 5,3 Triliun sedangkan pada website kementrian tercatat 4,366 Triliun. Saya berdoa sungguh-sungguh, website kementrian itu menampilkan informasi yang salah.