Namun ia mengingatkan, bila dalam praktiknya dana tersebut disalahgunakan, maka jaksa maupun aparat penegak hukum tentu wajib melakukan penyelidikan dan penindakan.
Kejaksaan Tinggi NTB sendiri telah membuka penyelidikan resmi sejak 10 Juli 2025 dan mulai memanggil sejumlah anggota DPRD NTB dari Komisi IV dan V untuk dimintai keterangan. Sayangnya, beberapa di antaranya tak menghadiri panggilan tanpa alasan jelas.
Di tengah keriuhan isu ini, masyarakat membutuhkan informasi yang jernih. Sebab selama ini, narasi yang berkembang justru seolah-olah menunjuk DPRD sebagai pihak yang mengatur dana tersebut. Padahal menurut hukum, jika dana tersebut masuk melalui mekanisme direktif, maka tanggung jawab penggunaannya tidak berada di ranah legislatif.
Pengamat politik dan LSM anti-korupsi menilai bahwa peristiwa ini adalah cermin dari buruknya tata kelola anggaran publik yang minim partisipasi dan pengawasan. Tak sedikit yang berharap skandal ini menjadi momentum bagi Pemprov NTB dan DPRD untuk membuka secara terang sumber, alur, dan bentuk realisasi anggaran.
“Kalau benar ini dana direktif, seharusnya Pemprov terbuka dan menjelaskan. Ini bukan soal siapa yang salah, tapi soal kepercayaan publik yang dipertaruhkan,” ujar seorang pegiat anggaran di NTB.
Skandal dana siluman ini telah menjadi potret kelam dari praktik anggaran yang sarat dengan konflik kepentingan. Kini, publik menanti: siapa yang benar-benar terlibat, dan siapa yang akan mempertanggungjawabkan?