Mataram – Kasus dugaan perampasan kendaraan oleh debt collector kembali mencuat di NTB. Kali ini, PT Lombok Nusantara Indonesia (LNI) menjadi sorotan setelah dilaporkan ke Polda NTB atas tuduhan perampasan dan pemerasan terhadap seorang aktivis berinisial F.
Laporan tersebut mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk kuasa hukum korban, Hendra Putrawan, SH. Ia menegaskan bahwa tindakan PT LNI tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang penarikan kendaraan secara paksa oleh leasing atau debt collector.
PT LNI Membela Diri, Klaim Sesuai UU Fidusia
Di sisi lain, PT LNI melalui perwakilannya, Bandi, membantah telah melakukan tindakan melawan hukum. Menurutnya, penarikan kendaraan telah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
“Kami bekerja sesuai SOP yang merujuk pada UU No. 42 Tahun 1999. Sebelum unit ditarik, kami pastikan debitur telah wanprestasi dan semua tahapan dilakukan secara profesional dan sesuai hukum,” ujar Bandi pada Jumat (7/2/2025).
Namun, pernyataan ini justru menimbulkan kontroversi. Pasalnya, putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dengan tegas menyatakan bahwa leasing maupun debt collector tidak boleh menarik kendaraan secara sepihak jika debitur menolak menyerahkan unitnya.
“Putusan MK ini sifatnya final dan mengikat. Jika debitur menolak menyerahkan kendaraan, maka leasing harus mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Jika tetap dipaksa, itu bukan lagi sekadar wanprestasi, tapi sudah masuk ranah pidana,” tegas Hendra Putrawan.
Kapolri Larang Debt Collector Bertindak Sewenang-wenang
Tak hanya melanggar putusan MK, tindakan PT LNI juga bertentangan dengan instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menegaskan bahwa debt collector tidak berwenang melakukan penarikan kendaraan secara paksa di jalan.