Mataram – Sebuah langkah besar tengah diambil di jantung Indonesia Timur. Pulau Flores, yang selama ini menggantungkan pasokan listrik pada diesel, bersiap melompat ke masa depan energi bersih. Semua ini berkat dorongan kuat dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 yang resmi berlaku sejak April lalu.
Permen tersebut menjadi tonggak penting dalam peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan. PLN pun merespons cepat dengan menyiapkan serangkaian aksi nyata, salah satunya mempercepat pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti panas bumi atau geothermal di Flores, yang menyimpan potensi hingga 1.036 MW.
General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra), Yasir, menegaskan bahwa langkah ini bukan sekadar strategi teknis, tetapi misi jangka panjang untuk mencapai kemandirian energi berkelanjutan di wilayah yang selama ini bergantung pada bahan bakar impor.
“Dengan beban puncak yang hampir menyentuh kapasitas terpasang 104 MW, maka pengembangan EBT adalah pilihan yang tidak bisa ditunda lagi,” jelas Yasir. “Geothermal 10 MW saja mampu melistriki lebih dari 11 ribu rumah tangga. Ini investasi untuk masa depan Flores.”
Namun tantangan tidak kecil. Hingga kini, PLTD masih menjadi tulang punggung kelistrikan di NTT. Padahal, biaya pokok penyediaan (BPP) dari PLTD sangat tinggi dan rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia.
Permen ESDM No. 10/2025 hadir dengan skema dedieselisasi yang terencana. Diesel akan digantikan oleh pembangkit EBT, baik yang berdiri sendiri maupun hibrida. PLN diberi mandat untuk melakukan kajian menyeluruh terkait aspek teknis, keuangan, hingga sosial dalam setiap keputusan pensiun dini pembangkit.
Di Flores, proyek geothermal tidak hanya soal pasokan listrik. Ia membuka jalan ke lapangan pekerjaan baru, infrastruktur jalan menuju wilayah kerja, peningkatan daya tarik wisata berbasis alam, hingga pembangunan kapasitas masyarakat lokal.
Permen ini juga menekankan transisi energi yang adil bukan hanya mengejar angka, tapi menjamin tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Dalam visi ini, Flores menjadi laboratorium hidup transisi energi di Indonesia.