Mataram – Publik NTB kembali diguncang oleh perkembangan kasus pembelian lahan untuk pembangunan Sirkuit MXGP Samota, Sumbawa. Anggaran Rp53 miliar dari APBD yang digelontorkan untuk pengadaan lahan seluas 70 hektare kini berubah menjadi sorotan tajam, karena dugaan adanya mark up harga dan penyalahgunaan wewenang.
Kamis (2/10/2025), Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB kembali memeriksa sejumlah pejabat Pemkab Sumbawa. Salah seorang pejabat yang hadir mengaku diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Satgas B Bidang Identifikasi dan Inventarisasi pada proses pengadaan lahan. “Saya diperiksa terkait teknis inventarisasi lahan. Ketua Satgas A juga ikut diperiksa,” katanya.
Meski pemeriksaan dilakukan intensif, publik menilai langkah Kejati masih “bermain di pinggiran.” Pasalnya, yang diperiksa baru pejabat level satgas, sementara nama besar seperti eks Bupati, eks Wakil Bupati, hingga Ali Bin Dachlan (Ali BD) mantan Bupati Lombok Timur sekaligus penjual lahan masih tetap bebas melenggang.
Mantan Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon, sebelumnya menegaskan ada indikasi mark up dalam transaksi tersebut. Namun hingga kini, meski puluhan saksi diperiksa, belum ada satu pun tersangka yang diumumkan.
Menariknya, Ali BD sendiri tak merasa bersalah. Ia justru mengklaim dirinyalah yang “dirugikan.” Menurutnya, harga pasar lahan seharusnya mencapai Rp2 miliar per hektare, namun pemerintah hanya membayar Rp300–400 juta per hektare. Dari total Rp 53 miliar, Ali BD mengaku hanya menerima Rp 32 juta, sisanya dibagi ke anak-anaknya yang juga memiliki lahan.
“Prosesnya sah, ada appraisal, ada konsinyasi lewat pengadilan. Jadi di mana masalahnya?” kata Ali BD, yang pernah menjabat Bupati Lombok Timur dua periode.
Kini, bola panas ada di tangan Kejati NTB di bawah kepemimpinan baru, Wahyudi. Publik menunggu apakah kasus ini akan benar-benar menyeret aktor intelektual di balik transaksi, ataukah Rp53 miliar itu hanya akan menjadi “uang yang hilang” di atas kertas APBD.