Mataram – Dengan suara tenang dan nada penuh refleksi, Ir. H. Rosiady Husaeni Sayuti, M.Sc., Ph.D., berdiri di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Mataram. Hari itu, ia membacakan pledoi pembelaan terakhir atas dakwaan yang membuat namanya mencuat dalam perkara Nusa Tenggara Convention Center (NCC).
“Saya tidak mengambil, tidak menerima, dan tidak menggunakan uang negara. Tidak ada satu rupiah pun uang APBD atau APBN yang keluar untuk pembangunan NCC,” ujar Rosiady membuka pembelaannya.
Fakta itu bukan sekadar klaim. Dalam perjalanan panjang sidang, seluruh ahli dan saksi membenarkan: proyek NCC murni dibiayai oleh PT Lombok Plaza melalui skema Bangun Guna Serah (BGS), di mana aset akan diserahkan ke pemerintah daerah pada akhir masa kerja sama di tahun 2046.
Administrasi Bukan Kriminalitas
Rosiady menegaskan, jika ada kekeliruan dalam administrasi, maka jalur penyelesaiannya bukan pidana, tetapi administratif atau perdata.
“Perjanjian kerja sama ini masih berjalan, masih ada waktu panjang untuk perbaikan nilai atau kewajiban. Jadi tidak pantas perkara perdata seperti ini dijadikan tindak pidana,” katanya.
Ia juga mengingatkan, kriminalisasi terhadap pejabat publik bisa mengancam keberanian birokrasi mengambil keputusan.
“Bayangkan, jika semua pejabat takut mengambil kebijakan, maka yang rugi adalah masyarakat. Investor pun akan enggan menanamkan modal. Ini justru bertentangan dengan semangat Presiden Prabowo Subianto yang ingin memperkuat investasi swasta di daerah,” tegasnya.
Fakta Persidangan: Negara Tidak Dirugikan
Fakta hukum yang terungkap selama persidangan seolah menjadi tembok kokoh di belakang pembelaan Rosiady.
Ahli keuangan negara Dr. Eko Sembodo menyatakan, “Kerugian negara harus nyata dan tercatat dalam neraca. Jika tidak tercatat, maka itu bukan uang negara.”
Ahli pidana Dr. Chairul Huda menambahkan, “Negara tidak mengeluarkan uang, justru menerima dua gedung, Labkesda dan PKBI. Kalau pun ada ketidaksesuaian, itu persoalan administratif.”
Bahkan Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi, Gubernur NTB saat proyek berjalan, memberikan kesaksian menegaskan:
“Tidak ada aliran dana dari PT Lombok Plaza kepada Pak Rosiady, dan tidak ada uang negara yang digunakan.”
Harapan dari Seorang Pendidik
Di penghujung pledoi, suara Rosiady melembut.
“Saya berdoa kepada Allah SWT, semoga hakim diberi kejernihan hati dalam memutuskan perkara ini. Saya ingin kembali bekerja, mengajar, mendidik mahasiswa, dan mencetak generasi muda yang cerdas.”
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada masyarakat NTB yang setia mendoakannya.
“Dukungan moral dan doa masyarakat adalah kekuatan saya. Saya yakin, doa itu juga didengar oleh majelis hakim.”
Pembelaan Hukum yang Tegas
Sementara itu, penasihat hukum Rofiq Ashari, S.H., menilai perkara ini semestinya tak sampai ke meja pidana.
“Ini bukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan fakta persidangan dan analisis hukum, tidak ada kerugian negara dan tidak ada niat jahat. Kami mohon majelis hakim membebaskan Pak Rosiady dari segala tuntutan,” katanmenja
Rofiq menegaskan, perkara ini seharusnya menjadi pelajaran penting agar hukum tidak disalahgunakan untuk menakuti birokrasi.
“Jika hukum kehilangan rasa proporsional, maka kebijakan publik akan berhenti di atas meja ketakutan,” ujarnya menutup.
Ujian Keadilan di Tipikor Mataram
Kini, semua mata tertuju pada Pengadilan Tipikor Mataram. Apakah majelis hakim akan berpihak pada fakta dan nurani hukum, atau tetap bertahan pada tafsir pasal yang telah banyak dipatahkan oleh bukti?
Satu hal pasti, sidang ini bukan hanya tentang nasib seorang birokrat, tapi tentang nasib logika keadilan di negeri ini.