Ditambahkannya, perkawinan anak menghambat terpenuhinya hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat berdasarkan Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak.
Anak-anak itu, sambung Fahrurrozi, seharusnya bersyukur hidup di era yang terbentang luas kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Anak perempuan diberikan hak yang sama dengan anak laki-laki. Kesempatan demikian harusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya.
“Karena dengan pendidikan yang cukup, diharapkan perempuan dapat memainkan perannya secara maksimal dan optimal saat menjadi ibu kelak. Seorang ibu mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anaknya. Jika ibu tidak mendapatkan pendidikan yang cukup, bagaimana ia akan mendidik anak-anaknya, membentuk budi pekertinya dan menyiapkan generasi yang hebat” ucapnya.
Fahrurrozi juga mengingatkan bahwa hidup di Pulau Lombok adalah sebuah anugerah. Pulau Lombok mendapat julukan sepotong surga di muka bumi. Di Pulau Lombok ada Gunung Rinjani, ada Sembalun, ada pantai-pantai indah, bahkan sekarang di Mandalika ada sirkuit balap kelas dunia. Anak-anak itu semestinya menyibukkan diri dengan belajar dan mengasah keterampilan sehingga pada saatnya dapat berperan aktif dalam mengisi pembangunan di daerahnya, dan bukan sekedar menjadi penonton di kampung sendiri.
Seusai mengucapkan Penetapan Nomor 614/Pdt.P/2022/PA.Sel, Hakim menasihati IWA dan SAH untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, bahkan lebih baik lagi jika sampai masuk perguruan tinggi sehingga mempunyai persiapan yang cukup lahir batin untuk memasuki dunia perkawinan.