Mataram – Jika politik adalah panggung, maka bansos pokok pikiran (pokir) DPRD Kota Mataram tampaknya menjadi lakon teranyar yang sedang dimainkan. Bedanya, kali ini bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan yang belum tentu suci.
Polda NTB secara resmi menaikkan status perkara dugaan penyimpangan bansos pokir ke tahap penyidikan. Langkah ini diambil setelah penyidik menemukan dua alat bukti kuat yang menandakan adanya aroma tak sedap dalam penyalurannya.
“Sudah naik ke penyidikan. Dasarnya dua alat bukti,” kata Dirreskrimsus Polda NTB, Kombes Pol FX Endriadi, Kamis (2/10).
Namun, saat diminta menjelaskan lebih jauh, Endriadi tampak berhati-hati. “Saya belum pegang datanya. Nanti saya tanyakan dulu ke penyidik,” ucapnya, seolah menegaskan bahwa kasus ini masih menyimpan banyak lembar rahasia.
Sementara itu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram juga tak mau ketinggalan. Lembaga ini tengah mengusut dugaan serupa untuk tahun anggaran 2022.
Kedua lembaga penegak hukum itu kini berjalan di rel yang berbeda, namun menuju tujuan yang sama — mencari siapa yang bermain di balik tumpukan berkas dan rekening bansos.
Pada tahun 2022, DPRD Mataram memperoleh dana DBHCHT yang sebagian besar diarahkan ke program bansos melalui pokir. Dinas Perdagangan (Disdag) menjadi pelaksana teknisnya. Tapi, di balik alur administrasi itu, muncul dugaan bahwa banyak penerima bantuan yang bahkan tak tahu mengapa mereka terdaftar.
Proposal tak pernah diajukan, verifikasi tak dilakukan, tapi dana tetap mengalir deras.
Setiap kelompok penerima mendapat Rp 50 juta, dibagi rata untuk 10 orang. Rp 5 juta per kepala mudah, cepat, tanpa ribet, tanpa seleksi.
Bahkan pedagang pun kalah cepat dari “kelompok terpilih” ini.
Kini, publik menunggu: apakah tahun 2023 akan menampilkan “sekuel” dari drama yang sama?
Jika iya, mungkin judulnya perlu ditulis ulang: “Bansos Pokir, Dari Rakyat, Oleh Dewan, Untuk Dewan.”