Kupang – Polemik pengembangan energi panas bumi di Nusa Tenggara Timur (NTT) kian mengemuka, terutama setelah enam Uskup Katolik di Flores menyuarakan penolakan keras. Seruan yang menggema dari para pemimpin rohani ini telah menggugah respons Pemerintah Provinsi NTT dan PT PLN (Persero) untuk mengambil langkah serius dalam menjembatani kegelisahan masyarakat dengan kepentingan pembangunan energi nasional.
Audiensi yang digelar di Kupang menjadi panggung awal bagi dialog yang lebih sehat dan terbuka. Dipimpin langsung oleh Gubernur NTT, Melki Laka Lena, dan didampingi Wakil Gubernur Johni Asadoma, forum ini mempertemukan berbagai pihak, mulai dari PLN, mitra pengembang geothermal, hingga para kepala daerah dari kabupaten yang menjadi lokasi proyek panas bumi.
Dalam suasana yang kental dengan nuansa refleksi dan keterbukaan, Gubernur Melki menekankan pentingnya mendengarkan suara rakyat. “Penolakan dari enam Uskup tidak bisa dianggap remeh. Itu suara hati masyarakat Flores. Kita tidak boleh alergi pada kritik. Kalau ada yang salah dalam proses ini, mari kita perbaiki bersama-sama,” ujar Melki.
Langkah konkret pun diambil: pembentukan Tim Penanganan Isu Teknis dan Sosial yang dijadwalkan mulai bekerja setelah Hari Raya Paskah 2025. Tim ini akan berisi perwakilan dari pemerintah, LSM, Keuskupan, dan pengembang, dengan tugas utama melakukan verifikasi langsung ke lapangan serta merumuskan solusi atas persoalan sosial yang muncul.
PLN merespons cepat arahan tersebut. General Manager PLN UIP Nusa Tenggara, Yasir, menyampaikan kesiapan PLN untuk menjadi koordinator utama dalam menata ulang pendekatan sosial proyek geothermal. “Kami tidak ingin program strategis ini justru menimbulkan luka sosial. Karena itu, PLN siap berbenah dan membuka diri terhadap berbagai masukan,” katanya.
Sementara itu, GM PLN UIW NTT, F. Eko Sulityono, membeberkan bahwa geothermal adalah harapan baru untuk mengatasi mahalnya biaya listrik di wilayahnya. “Harga pokok produksi listrik di NTT mencapai Rp 2.600 per kWh, sedangkan tarif rumah tangga hanya sekitar Rp 1.400. Ini jurang yang ditanggung subsidi negara. Geothermal bisa menutup kesenjangan itu,” jelasnya.
Dari sisi internal PLN, Executive Vice President Panas Bumi, John Y.S. Rembet, mengakui adanya kekurangan dalam pendekatan awal. Ia berharap pembentukan tim independen bisa memperbaiki hubungan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lokal.
Dengan terbentuknya tim ini, publik berharap konflik panas bumi di NTT tidak lagi menjadi bara yang membakar kepercayaan masyarakat, tetapi berubah menjadi pijakan kuat untuk pembangunan energi bersih yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.