banner 728x250

Gugatan Dosen, Tekanan Politik, dan Senat Tanpa SK: Pilrek Unram 2026 Dalam Bayang-Bayang Krisis Legitimasi

Gedung Rektorat Universitas Mataram, yang menjadi pusat pengelolaan kampus, kini jadi sorotan publik menjelang Pilrek 2026. (Foto: Istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

Mataram – Pemilihan Rektor Universitas Mataram (Unram) periode 2026–2029 kian menyerupai gelanggang politik ketimbang ruang akademik. Deretan peristiwa ganjil dalam beberapa pekan terakhir memunculkan pertanyaan mendasar: masih adakah ruang bagi integritas dalam demokrasi kampus?

Tiga fakultas besar kini menjadi sorotan. Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (FATEPA) memicu gelombang pertama. Seorang dosen, Dr. Ansar, menggugat dekan fakultas ke PTUN Mataram karena dijatuhi sanksi etik tanpa melalui proses etik sebagaimana diatur dalam aturan kampus. Ia menyebut keputusan dekan bukan hanya cacat prosedur, tapi juga bentuk persekusi akademik.

banner 325x300

“Saya tidak pernah diperiksa, tidak dipanggil, tidak diberi kesempatan membela diri. Tiba-tiba keluar surat sanksi. Ini bukan lagi soal etik, tapi upaya politik menjegal saya,” ujar Ansar. Gugatan tersebut teregister dengan nomor 51/G/2025/PTUN.MTR dan menjadi salah satu kasus hukum pertama yang menyentuh langsung jantung proses Pilrek Unram.

Gelombang kedua datang dari Fakultas Teknik. Pemilihan anggota senat yang seharusnya steril dari intervensi diduga tercemar oleh tekanan politik. Salah satu calon, Dr. Nur Kaliwantoro, menyatakan secara terbuka bahwa pejabat fakultas melakukan komunikasi langsung ke dosen-dosen muda, mengarahkan pilihan, bahkan memberi tekanan terselubung.

“Pemilihan senat seharusnya bebas, bukan dikendalikan oleh kekuasaan fakultas. Ini jelas pelanggaran etika dan merusak legitimasi proses Pilrek,” tegasnya. Ia mendesak pembentukan tim independen untuk menyelidiki dugaan kecurangan dan membekukan hasil pemilihan sementara.

Gelombang ketiga, dan paling krusial, adalah pelantikan anggota senat universitas. Pelantikan yang digelar awal Oktober itu dilakukan tanpa Surat Keputusan (SK) Rektor, dan dipimpin oleh Ketua Senat lama yang masa jabatannya telah berakhir. Sejumlah guru besar menilai pelantikan tersebut cacat hukum dan administratif.

“SK itu pondasi keabsahan. Tanpa SK, pelantikan itu sama saja berdiri di atas tanah yang goyah,” ujar kuasa hukum salah satu guru besar. Beberapa dosen yang memenuhi syarat dilaporkan tidak dilantik tanpa alasan tertulis, sementara proses pelantikan digelar tertutup.

Situasi ini membuat pemilihan rektor yang seharusnya menjadi pesta demokrasi akademik kini dipenuhi tanda tanya. Jika dasar keanggotaan senat saja bermasalah, maka tahapan pemilihan rektor berpotensi cacat hukum. Tim hukum dosen kini menyiapkan pengaduan ke Ombudsman dan tidak menutup kemungkinan langkah hukum lanjutan.

Di kampus yang mengajarkan hukum, kini hukum justru tengah diuji. Bukan di ruang kuliah, tapi di ruang sidang dan ruang publik.

banner 325x300