Bangunan penting dalam meritokrasi, kata Alfisyahrin, adalah tiga hal, yakni kapabilitas, prestasi, dan kualifikasi. Alfisyahrin khawatir, narasi meritokrasi yang selama ini disampaikan Iqbal hanya sebatas untuk memanipulasi kesadaran publik.
Padahal, dalam realitasnya, di tengah pragmatisme politik, kebijakan kekuasaan tidak lagi steril dari kepentingan politik, termasuk kepentingan transaksional.
Dalam dialog publik tersebut, sejumlah mahasiswa menyampaikan keresahannya perihal kepemimpinan Iqbal-Dinda di NTB.
Jujur kami sampaikan, belum ada hasil kinerja nyata dari pemimpin kami. Saya melihat tidak ada keseriusan; masih leha-leha,” jelas perwakilan mahasiswi, El Wani Pramesti.
Ia melihat adanya fenomena pemimpin di NTB yang lebih banyak memainkan gimik di media sosial. Padahal, realitasnya belum ada kebijakan nyata di lapangan.
“Hanya gaya-gayaan di media saja. Brandingnya saja. Di lapangan, zonk. Kalau bisa, kita ingin duduk bersama gubernur. Kita mau mendengar langsung apa yang sudah dilakukannya beberapa bulan ini,” jelasnya.
Ia mengaku cemburu melihat kebijakan nyata dari gubernur-gubernur di daerah lain yang banyak mengeluarkan kebijakan yang berdampak langsung kepada masyarakat.