“Kalau mutu dan etika diabaikan, yang dirugikan adalah anak-anak. Mereka seharusnya menerima makanan segar dan layak,” ujarnya.
Masalah makin pelik ketika penyaluran kategori 3B tak dilakukan dengan alasan tidak ada food tray, padahal data menunjukkan stok masih mencukupi.
Pertentangan Dua Versi
Di satu sisi, Kepala SPPG menegaskan penutupan semata karena kendala anggaran. Di sisi lain, yayasan menilai alasan itu tidak berdasar karena saldo dana masih tersedia dan tidak ada pemberitahuan resmi dari BGN.
Kontradiksi itu menciptakan ruang abu-abu yang berpotensi mengguncang kepercayaan terhadap pelaksanaan program nasional.
“SPPG itu perpanjangan tangan negara di bidang gizi. Kalau ditutup sepihak, tanpa dasar, itu bisa jadi preseden buruk,” tegas Hariyanto.
Anak-anak di Persimpangan
Yang paling dirugikan dari kisruh ini tentu bukan lembaga, melainkan anak-anak penerima manfaat. Mereka kini menunggu, sementara dapur berhenti, dan birokrasi saling tuding.
“Yang kami khawatirkan, di balik administrasi yang ribut, ada perut-perut kecil yang kosong. Ini soal tanggung jawab kemanusiaan,” ujar Hariyanto lirih.
Yayasan Agniya pun meminta Badan Gizi Nasional (BGN) turun langsung menelusuri fakta dan memastikan pelayanan kembali berjalan.
Menanti Sikap BGN
Hingga kini, BGN RI belum memberikan tanggapan resmi atas persoalan tersebut. Namun publik berharap lembaga itu segera mengambil langkah tegas bukan sekadar untuk menyelesaikan konflik, tapi mengembalikan kepercayaan bahwa dapur gizi negeri ini masih berpihak pada rakyat kecil.











