Pangi menuturkan, campur tangan Jokowi dapat merusak kepercayaan publik (distrust) terhadap proses pemilihan dan integritas lembaga-lembaga terkait. Dia melanjutkan, jika masyarakat merasa bahwa proses pemilihan tidak adil atau terdistorsi karena campur tangan presiden, maka mereka dapat kehilangan kepercayaan pada sistem politik dan pemimpin yang dipilih.
“Ini dapat menghasilkan ketidakstabilan sosial dan politik, serta mengurangi legitimasi pemerintah yang akan datang,” imbuhnya.
Kelima, pembatasan inovasi politik. Pangi menambahkan, dengan campur tangan presiden dalam menentukan penerusnya, ada risiko terjadinya stagnasi politik. Dia mengungkapkan, calon-calon yang mungkin memiliki visi baru, gagasan inovatif, atau perspektif yang berbeda mungkin akan terhalang oleh pengaruh presiden saat ini.
Pangi menilai hal tersebut dapat menghambat perkembangan demokrasi dan mencegah perubahan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang terus berubah dan dinamis.
Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa cawe-cawe Presiden Jokowi tetap menyimpan masalah, ada potensi abuse of power, karena presiden masih punya kendali total terhadap infrastruktur dan suprastruktur Pemilu 2024.
Sedangkan cara menghentikan itu semua, kata dia, presiden harus netral dan cuti. Bagaimanapun, ujar dia, Indonesia masih membutuhkan kekuasaan presiden dan negara yang netral.