“Saya bertanya apakah dahak saya di tes ulang atau tidak, dengan cuek perawat itu langsung pergi sambil menjawab “nggak sih”, kan saya semakin penasaran dan bingung,“ tuturnya.
Keesokan hari sekitar jam 5 sore, dokter lainya, datang memeriksa kondisi pasien. Dengan pertanyaan yang sama kembali dilontarkan pasien namun jawabannya juga berbeda.
“Dokter itu bilang nama saya tertukar dengan pasien lain, dan mengatakan nama saya yang positif dan nama orang lain itu lah yang negatif. Padahal di wadah plastik dahak itu tertempel rapi dan kertas yang dipakai nulis nama dan NIK pasien gak bisa dicabut,“ ungkapnya dengan nada bingung.
Karena kami masih ragu, setelah diizinkan pulang dari klinik. Kami periksakan ke dokter spesialis paru di Mataram dan menganjurkan tes dahak dan rontgen hasilnya dari kedua tes menunjukkan negatif dan bukan penyakit TB yang seperti dokter pertama katakan.
“Saya melakukan rontgen dan pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) atau tes dahak dokter bilang hasilnya bagus dan bersih, sehingga dokter bertanya keluhan beratnya apa. saya menceritakan semua kejadian yang saya alami saat dirawat sebelumnya,“ tandasnya.
Dokter tersebut kemudian cari bukti tertulis dari Puskesmas Aikmel kalau dirinya didiagnosa positif namun Sudiarti tidak bisa menunjukkan itu, sebab dokter dan perawat dari Puskesmas Aikmel yang menanganinya tidak pernah memberikan hasil secara tertulis, hanya pemberitahuan secara lisan saja.
Wajar saja, pasien serta keluarga bertanya-tanya dan menduga hasil pemeriksaan tes dahak lab di Puskesmas yang error, ataukah memang kinerja dokter dan perawatnya memang tidak benar.