Ia mengimbau kepada masyarakat Lombok Timur agar mengakhiri praktik pernikahan di bawah tangan (sirri) atau tidak tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Karena mudharatnya sangat besar.
Tidak sedikit anak-anak Lombok, sambungnya, menemui kendala untuk meraih cita-cita memasuki sekolah atau universitas favorit atau mendaftar menjadi Polisi/TNI dan profesi-profesi lainnya akibat tidak adanya akta nikah orang tuanya. Belum lagi jika ada sengketa pernikahan, harta bersama (gono-gini) dan kewarisan, istri-istri itu akan kesulitan membuktikan adanya hubungan pernikahan. Mereka bisa kehilangan hak-haknya.
Lebih lanjut, Fahrurrozi menjelaskan bagi anak-anak yang belum mencapai usia pernikahan menurut hukum, yaitu 19 tahun, maka solusinya adalah mengajukan permohonan dispensasi nikah. Bukan dengan cara menikah di bawah tangan. Kalau memang ada alasan mendesak dan anak itu dipandang sudah matang secara jasmani dan rohani, Pengadilan dapat memberikan dispensasi.
“Demikian juga, bagi laki-laki yang ingin menikah lagi secara poligami maka hendaklah melalui prosedur hukum, yaitu mengajukan permohonan izin poligami. Bukan menikah secara diam-diam atau di bawah tangan. Sebab pernikahan kedua itu tidak bisa diitsbatkan. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan terbatas mengenai pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan menurut Undang-Undang Perkawinan. Jika ada halangan, yaitu laki-laki itu masih berstatus suami orang atau masih terikat pernikahan dengan orang lain maka tidak dapat diitsbatkan” urainya.