Mataram – Jika ada penghargaan untuk trik sulap tanah paling nekat, mungkin AAP dan BMF layak jadi juaranya. Bagaimana tidak, tanah negara seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, yang semestinya menjadi aset daerah, bisa seketika berubah jadi Sertifikat Hak Milik (SHM) pribadi.
Kejaksaan Negeri Mataram akhirnya tak tahan lagi menonton “pertunjukan ajaib” ini. Jumat (26/9/2026), Kejari resmi menetapkan AAP Kepala Desa Bagik Polak dan BMF mantan pejabat BPN Lombok Barat sebagai tersangka korupsi jual-beli tanah negara.
Kronologinya begitu klasik tapi menyebalkan. Tahun 2018, AAP mengajukan sertifikat tanah lewat program PTSL. Hasilnya? SHM No. 02669 atas nama dirinya sendiri terbit mulus. Padahal tanah itu jelas-jelas aset Pemkab Lombok Barat. Setelah ketahuan “tak wajar”, sertifikat tersebut sempat dibatalkan. Tapi bukan mafia namanya kalau berhenti begitu saja.
Muncullah gugatan perdata di pengadilan, lengkap dengan drama gugatan ahli waris palsu. Ironisnya, pejabat BPN BMF yang mestinya membela negara justru mangkir dari persidangan. Apa akibatnya? Tanah negara benar-benar berpindah tangan lewat jalan yang sangat “bermartabat” akta perdamaian di pengadilan. Singkat cerita, tanah pun ludes dijual ke pihak lain.
BPKP NTB menghitung kerugian negara dari aksi konyol ini: tanah seluas 3.757 meter persegi lenyap begitu saja dari daftar aset daerah. Negara buntung, rakyat merugi, sementara para pemain tanah bertepuk tangan.
Kini, AAP harus merenung di balik jeruji Lapas Lombok Barat, sedangkan BMF dijebloskan ke Lapas Perempuan Mataram. Keduanya dijerat pasal berlapis Undang-Undang Tipikor, dengan ancaman hukuman yang sayangnya sering kali lebih ringan daripada kerugian yang mereka timbulkan.
Kasus ini kembali membuka mata publik: tanah negara bukan lagi milik rakyat, melainkan milik siapa saja yang pandai “menyulap” sertifikat. Pertanyaan sarkastis pun muncul, kalau tanah negara bisa dijual seenaknya, lalu apa bedanya pejabat dengan calo tanah?