banner 728x250
Hukrim  

“Drama Sakit Berjamaah” di Kasus Korupsi Masker NTB: Preseden Buruk Penegakan Hukum

Mantan Wakil Bupati Sumbawa, Dewi Noviany, terlihat meninggalkan ruang pemeriksaan setelah mendapatkan penangguhan penahanan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan masker COVID-19 di NTB. (Foto: Istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

Mataram – Publik NTB kembali dikejutkan oleh kabar mengejutkan dari meja penyidik Satreskrim Polresta Mataram. Enam tersangka dugaan korupsi pengadaan masker COVID-19 tahun 2020 senilai Rp12,3 miliar serempak mendapat penangguhan penahanan. Alasan yang disampaikan: semuanya sakit.

Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar. Bukan hanya karena kasus ini menyangkut dana darurat pandemi, tetapi juga karena keserentakan alasan sakit yang terasa seperti skenario yang rapi. Di tengah jeritan rakyat kala pandemi, di mana masker menjadi barang langka dan harga melambung, publik kini disuguhi pemandangan ironi: mereka yang diduga menyelewengkan anggaran justru mendapat “tiket pulang” dari tahanan dengan modal selembar surat keterangan dokter.

banner 325x300

Dari Tahanan ke Wajib Lapor

Kasat Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, membenarkan semua tersangka kini hanya wajib lapor setiap Senin dan Kamis. Mereka adalah mantan Wakil Bupati Sumbawa Dewi Noviany, mantan Kepala Biro Ekonomi Setda NTB Wirajaya Kusuma beserta istri sirinya Rabiatul Adawiyah, Sekretaris Dinas Pariwisata NTB Chalid Tomassong Bulu, Pejabat Pembuat Komitmen Kamaruddin, dan PPTK M. Haryadi Wahyudin.

“Semua sudah memberikan surat keterangan sakit,” ujarnya, singkat.

Kritik Tajam Akademisi

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Prof. Zainal Asikin, menilai langkah penangguhan berjemaah ini tidak hanya keliru, tetapi berbahaya bagi masa depan penegakan hukum.

“Kalau sakit, ya dibawa ke rumah sakit, bukan ditangguhkan penahanannya. Syarat-syarat penangguhan itu harus jelas terpenuhi. Kalau tidak, ini akan jadi preseden buruk. Semua tersangka korupsi nanti bisa meniru pola ini,” tegasnya.

Kritik ini menyorot potensi efek domino: alasan sakit dapat menjadi jalan pintas populer bagi tersangka kasus besar untuk menghindari jeruji besi, asalkan ada dokter yang bersedia mengeluarkan surat keterangan.

Kasus yang Mengiris Rasa Keadilan

Kasus korupsi masker ini mencoreng momen krisis. Dana yang digunakan berasal dari Belanja Tak Terduga (BTT) Dinas Koperasi dan UMKM NTB. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB, kerugian negara mencapai Rp1,58 miliar.

Angka ini mungkin terlihat kecil dibandingkan mega-korupsi lain, namun konteksnya membuat publik marah. Uang ini seharusnya menjadi tameng melindungi warga NTB di tengah gelombang pertama COVID-19, saat masker menjadi kebutuhan vital yang menentukan hidup dan mati.

Preseden yang Menggerus Kepercayaan Publik

Penangguhan penahanan massal ini memunculkan pertanyaan fundamental:

  • Apakah pemeriksaan medis dilakukan secara independen, atau sekadar formalitas?
  • Mengapa keputusan diambil serentak, seolah semua tersangka mengalami sakit bersamaan?
  • Apakah aparat mempertimbangkan risiko preseden buruk terhadap pemberantasan korupsi?

Ketika aparat terlihat longgar terhadap korupsi, apalagi korupsi di masa bencana, publik berhak khawatir bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Menunggu Transparansi

Publik kini menanti langkah transparan dari Polresta Mataram. Penjelasan rinci mengenai dasar medis, proses penilaian syarat penangguhan, dan siapa saja pihak yang memberikan rekomendasi menjadi kunci memulihkan kepercayaan. Tanpa itu, kasus ini berpotensi masuk daftar panjang drama hukum yang berakhir tanpa keadilan substantif.

Korupsi di masa pandemi adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Penegak hukum seharusnya menjadikannya prioritas penindakan, bukan justru membuka pintu pulang berjemaah bagi para tersangka.

banner 325x300