Rachmat menuturkan, dahulu, ketika Dwifungsi ABRI diberlakukan Orde Baru, gaya pemerintahan benar-benar militeristik. Militer merasuk dalam setiap sendi kehidupan bernegara.
Di lembaga legislatif, mulai dari DPR RI hingga DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, militer memiliki Fraksi ABRI yang anggotanya ditunjuk, alih-alih dipilih melalui pemilu. Gubernur dan bupati, wajib berasal dari tentara atau yang direstui tentara. Pimpinan partai politik di daerah juga berasal dari tentara. Bahkan sampai kendali pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat seperti lurah dan kepala desa, juga berasal dari tentara.
Di masa Orde Baru kata Rachmat, militer memiliki peran besar dalam politik dan birokrasi. Konsep Dwifungsi ABRI membuat militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan, tetapi juga berperan dalam pemerintahan dan ekonomi. Orde Baru menerapkan sistem pemerintahan yang sangat terstruktur, dengan militer sebagai pilar utama. Hasilnya, hari-hari, pengawasan ketat terhadap masyarakat diberlakukan, serta pendekatan represif untuk menjaga stabilitas dan kekuasaan.
Kontrol ketat terhadap kebebasan berpendapat juga diterapkan. Pers dibatasi melalui sistem Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Alhasil, media massa bisa dibredel jika mengkritik pemerintah. Oposisi juga ditekan. Aktivis dan mahasiswa yang vokal akan mengalami penangkapan.
Rachmat tak akan pernah lupa, bagaimana Partai Demokrasi Indonesia (PDI), cikal bakal PDI Perjuangan saat ini, menjadi korban langsung gaya pemerintahan militeristik Orde Baru tersebut. Rachmat mengalami sendiri, bagaimana ketika mengikuti acara Rakernas PDI di Condet, Jakarta Timur, harus diuber-uber aparat keamanan. Padahal, Rakernas tersebut hanyalah agenda tahunan rutin sebuah organisasi partai politik.
Pada Pemilu tahun 1987, PDI mencatatkan prestasi gemilang dengan memperoleh enam kursi di DPRD Lombok Timur. Menjadikan PDI kala itu harusnya berhak atas kursi pimpinan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Militer yang masih memiliki Fraksi ABRI di DPRD tak rela. Pun Bupati Lombok Timur yang kala itu juga berasal dari tentara tak terima. Mereka bergerak. PDI ditelikung. Kursi pimpinan justru menjadi milik Partai Persatuan Pembangunan, yang perolehan kursinya berada di bawah PDI.