Ketika Birokrat Bersih Jadi Tersangka, Hukum Diuji
Rosiady bukan pejabat proyek. Ia seorang intelektual pemerintahan yang bertugas menjalankan kebijakan atas mandat. Tapi kini, ia menanggung beban pidana atas sebuah keputusan administratif yang justru memberi manfaat bagi daerah.
Ahli pidana Chairul Huda menyebutnya gamblang: “Jaksa gagal membedakan antara penyalahgunaan kewenangan administratif dengan tindak pidana korupsi.”
TGB sendiri, yang kala itu Gubernur NTB, tak pernah merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut. Ia bahkan menyebut kerja sama NCC adalah upaya pemerintah daerah membuka investasi, bukan menyelewengkan aset.
“Proyek itu bagian dari pembangunan daerah. Tidak ada motif memperkaya diri, tidak ada uang yang hilang,” ujar TGB di persidangan.
Namun, kebenaran faktual itu kini terancam tertutup oleh retorika pasal yang dibaca kaku.
Rakyat Bergerak, Hukum Diuji
Sidang pledoi (nota pembelaan) besok akan menjadi panggung terakhir bagi akal sehat hukum. Rosiady akan bicara bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh birokrat yang berpotensi dikriminalisasi karena kebijakan administratif.
Di luar gedung, ribuan rakyat NTB akan bersuara. Mereka tidak menuntut pembalasan, tapi kebenaran.
“Kalau negara tidak rugi, tapi orangnya dituduh korup, maka yang korup adalah logika hukum itu sendiri,” kata seorang mahasiswa dengan mata menyala.
Akhir yang Dinanti: Nurani atau Pasal?
Kini, bola ada di tangan hakim. Apakah akan memutus berdasarkan fakta dan hati nurani, atau tetap terjebak dalam doktrin hukum yang kehilangan makna?
Yang pasti, rakyat sudah menilai, hukum yang seharusnya menjadi pelindung keadilan kini berdiri di sisi kekuasaan pasal. Dan jika keputusan nanti masih menghukum Rosiady atas kasus tanpa uang negara, maka sejarah akan mencatat, dii ruang Pengadilan Tipikor Mataram, hukum pernah kehilangan akal sehatnya dan rakyatlah yang mengingatkannya.