banner 728x250
Hukrim  

Skandal Lahan Samota: Jejak Restu Pejabat, Transaksi Fantastis, dan Diamnya Kejati NTB

Aksi para pembalap MXGP di Samota, di balik riuhnya dugaan pemufakatan jahat pengadaan lahan. (Foto: Istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

Mataram – Skandal pembelian lahan 70 hektar untuk Sirkuit MXGP di kawasan Samota, Sumbawa, kini kian menyeruak. Bukan sekadar transaksi jual-beli tanah, dugaan adanya restu pejabat daerah dan mark-up harga membuat kasus ini dipandang publik sebagai bentuk “pemufakatan jahat” yang merugikan negara.

Transaksi tersebut melibatkan nama besar, mulai dari mantan Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa, hingga Ali Bin Dachlan (Ali BD), mantan Bupati Lombok Timur yang disebut menerima pembayaran tertinggi. Nominal yang dibayarkan mencapai Rp53 miliar, jauh di atas harga pasar menurut penilaian appraisal independen.

banner 325x300

“Pola kasus ini jelas. Ada pemberi restu, ada penerima, dan ada skema yang dimuluskan. Rakyat yang dirugikan,” tegas seorang aktivis antikorupsi di Sumbawa.

Mekanisme Transaksi Penuh Kejanggalan

Berdasarkan penelusuran, pembayaran dilakukan dengan sistem konsinyasi melalui pengadilan. Uang miliaran rupiah dititipkan, lalu mengalir ke penerima meski status tanah masih bersengketa. Aneh bin nyata, pencairan dana bahkan dilakukan dua kali pada tahun berbeda kepada pihak yang sama.

Kecurigaan publik makin menguat karena proses penilaian harga dan appraisal dinilai tidak transparan. Ali BD disebut sebagai penerima terbesar dari pembayaran tersebut.

Kejati NTB Masih Beralasan Penyidikan

Saat kasus ini mulai mencuat, Kepala Kejati NTB kala itu, Enen Saribanon, menyatakan pihaknya masih menunggu perhitungan kerugian negara dari BPKP. Namun, hingga akhir masa jabatannya, tak satu pun tersangka diumumkan.

Kini, tongkat estafet Kejati NTB berada di tangan Wahyudi. Publik menanti apakah pejabat baru ini berani mengungkap aktor besar di balik skandal tersebut.

Pandangan Akademisi: Dua Penyebab Lambat

Guru Besar Hukum Universitas Mataram, Prof. Zainal Asikin, menyebut ada dua kemungkinan penyebab lambatnya penanganan kasus ini: belum jelasnya status kepemilikan tanah, dan sulitnya membuktikan aktor intelektual yang diduga melibatkan pejabat tinggi.

“Kalau tanah itu milik pemerintah daerah, harusnya ada dalam daftar aset. Kalau dialihkan secara ilegal, jelas berpotensi merugikan negara,” jelasnya.

Tantangan untuk Penegak Hukum

Masyarakat Sumbawa kini menuntut Kejati NTB untuk tegas menetapkan tersangka, tanpa pandang bulu. Pertanyaan publik pun mengerucut: Apakah hukum berani menyentuh lingkar kekuasaan, ataukah kasus ini hanya menjadi arsip tebal yang berdebu di lemari penyidik?

banner 325x300