Mataram – Siapa sangka sebuah mall modern di pusat Kota Mataram bisa menjelma menjadi ruang teatrikal budaya yang membungkus makna dan keberanian? Di antara deretan gerai ritel dan deru pengunjung yang terbiasa dengan hiruk-pikuk belanja, tiba-tiba suara drum menggema, simbal membahana, dan dua sosok “singa” melompat ke tengah kerumunan.
Bukan sembarang barongsai. Ini adalah Vamos Rinjani, kontingen dari Nusa Tenggara Barat yang tampil dalam Festival Olahraga Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII 2025. Mereka hadir tidak hanya sebagai peserta lomba, tetapi sebagai utusan misi budaya. Mengenakan busana adat khas Lombok yang menyatu dengan kostum barongsai, mereka mempersembahkan sesuatu yang lebih dari sekadar atraksi: sebuah manifesto kultural.
Dua tim mereka tampil membawa kisah berbeda. “Auman Singa Betina Merindukan Bulan” dan “Singa Jantan yang Menemukan Jati Diri” bukan hanya judul pertunjukan, tetapi narasi simbolik tentang perjuangan, identitas, dan pencarian ruang bagi perbedaan untuk berdampingan.
“Selama ini barongsai identik dengan etnis Tionghoa. Kami ingin menunjukkan bahwa seni ini juga bisa menjadi milik kita semua,” tutur Mega Herlambang, pembina Vamos Rinjani, dengan mantap. Ia melihat potensi besar di balik barongsai sebuah seni gerak yang bisa menjadi ruang inklusif, sekaligus media memperkenalkan budaya lokal.
Tim Vamos Rinjani adalah kumpulan remaja biasa: pelajar dari berbagai sekolah, bahkan beberapa pekerja yang rela menyisihkan waktu demi latihan. Selama tiga bulan, mereka membentuk harmoni antara tubuh, kostum adat, dan semangat.
“Tantangannya bukan sekadar teknis, tapi bagaimana menggabungkan rasa agar setiap gerak menyampaikan sesuatu. Bukan hanya loncatan atau putaran, tapi cerita,” lanjut Mega.
Dengan tampil berani dalam format baru ini, Vamos Rinjani menabrak batasan-batasan tradisional. Mereka memperlihatkan bahwa akulturasi tidak selalu harus datang dari atas, tetapi bisa lahir dari panggung sederhana seperti mall yang disulap jadi arena pertunjukan.
Mereka tak sekadar mengejar medali emas, meski itu menjadi target awal. Lebih dari itu, Vamos Rinjani ingin menanam gagasan bahwa barongsai, seperti juga seni dan budaya lain, dapat menjadi ruang dialog lintas budaya yang indah. “Kita ingin warga Lombok juga merasa memiliki barongsai, bukan hanya sebagai tontonan saat Imlek,” pungkas Mega.
Di tengah kemajemukan Indonesia, kisah Vamos Rinjani adalah cermin bahwa keberanian untuk berbeda bisa menjadi pintu masuk bagi pengakuan dan perayaan bersama.