Saksi tidak pernah melihat papan nama dan surat-surat terkait ijin BTC selaku lembaga non formal penyelenggara pelatihan. Saksi juga tidak dapat menunjukkan bukti kerugian yang dialaminya Rp 14 juta. Misalnya bukti tanda terima para peserta telah menerima uang saku dari kegiatan sosialisasi.
Selanjutnya saksi tidak dapat menunjukkan poin perjanjian terkait menyalurkan tenaga kerja ke Jepang, dan ternyata saksi ketika membuat perjanjian tersebut masih menjadi pejabat publik, yaitu Notaris.
Di akhir persidangan, Ketua Majelis Hakim mengingatkan saksi yang berprofesi sebagai Notaris dan sudah Doktor agar tidak gampang membuat kesepakatan yang sifatnya ngambang, karena saksi tidak tahu legalitas BTC dan BTC ini tidak ada name boardnya, namun berani membuat perjanjian.
“Lembaga pelatihan non formal itu itu tidak boleh sembrono, harus ada ijin dari Dikti atau Dinas Pendidikan, apalagi kalau menggunakan anggaran dana desa itu akan jadi korupsi. Hal yang seperti ini banyak buat kepala desa dijerat korupsi. Seharusnya kalau seandainya benar ingin bekerjasama kenapa tidak membuat perjanjian dan memastikan legalitas lembaga lebih dulu baru sosialisasi. Kasihan kalau begini, nanti mahasiswanya yang akan rugi. Apalagi kalo ingin mengirimkan tenaga kerja ke Jepang, itu jauh lebih sulit,” cecar Majelis Hakim.