Mataram – Dari tanah yang melahirkan banyak pemimpin dan tokoh bangsa, kini bergema suara adat yang menohok.
Majelis Adat Sasak (MAS) akhirnya turun gunung. Bukan untuk berpolitik, melainkan untuk meluruskan moral publik yang dinilai mulai disesatkan oleh tafsir hukum yang kehilangan arah.
Pengerakse Agung Majelis Adat Sasak, Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan, S.H., M.H., bicara lantang,
“Kami bangsa Sasak malu kalau berbuat tercela. Dan saya tahu betul, Rosiady tidak mungkin melanggar hukum. Yang terjadi ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi terhadap pejabat jujur.”
Orang Baik yang Jadi Tersangka
Rosiady bukan nama asing bagi masyarakat NTB. Ia dikenal sebagai birokrat teladan, akademisi yang santun, dan pejabat yang hidup bersahaja. Maka ketika Kejaksaan menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus Nusa Tenggara Convention Center (NCC), publik terperangah.
“Kami sangat terkejut. Ini bukan sekadar perkara pribadi, tapi musibah besar bagi NTB. Orang sebaik beliau dijadikan terdakwa, padahal seluruh ahli di persidangan sudah menyatakan tidak ada uang negara yang hilang,” tutur Sajim.
Sebagai bentuk solidaritas moral, Majelis Adat Sasak bahkan mengunjungi Rosiady di Lapas Praya dengan pakaian adat lengkap simbol penghormatan tertinggi dalam tradisi Sasak.
“Kami datang bukan untuk politik, tapi untuk kehormatan. Kami minta agar beliau diperlakukan dengan hormat. Orang baik harus dijaga martabatnya meski sedang diuji,” katanya.
Fakta yang Dibalik, Nilai yang Dikhianati
Fakta-fakta di pengadilan sesungguhnya jelas, tidak ada dana APBD, tidak ada APBN, dan tidak ada aliran uang pribadi ke pejabat mana pun. Ahli keuangan negara menyatakan tidak ada kerugian negara, ahli pidana menegaskan kasus ini administratif, bahkan mantan Gubernur NTB TGB M. Zainul Majdi menyebut proyek itu sepenuhnya dibiayai pihak swasta.
Namun, tuntutan jaksa justru datang seperti petir 12 tahun penjara. Bagi Majelis Adat Sasak, ini bukan sekadar angka, tapi tamparan terhadap logika hukum.
“Kalau pejabat yang jujur dihukum, sementara negara tak rugi, maka hukum telah kehilangan hati. Jangan biarkan pengadilan jadi tempat menghukum orang baik,” tegas Sajim.
Keadilan yang Tak Boleh Mati di Tipikor
Menjelang putusan 10 Oktober 2025, Majelis Adat Sasak menyerukan agar hakim tidak membutakan mata terhadap kebenaran.
“Hakim itu wakil Tuhan. Kami mohon agar majelis hakim memutus dengan hati yang bersih. Masyarakat sudah tahu apa yang terjadi di persidangan. Jangan abaikan kebenaran yang sudah nyata,” ujarnya.
Majelis Adat juga berencana bersilaturahmi ke Pengadilan Tipikor Mataram, sekaligus mengirim surat moral ke Komisi III DPR RI, agar hukum di NTB dikawal dengan asas kemanusiaan dan keadilan.
“Kami tidak membela orang, kami membela nilai. Orang jujur akan kami bela mati-matian. Karena kalau orang baik dikalahkan, maka keadilan akan ikut mati,” pungkasnya.
Adat, Hati, dan Hukum
Dalam filosofi Sasak, hidup dijaga oleh tiga pilar: Tindih, Maliq, dan Merang.
Tindih berarti etika dan moral, Maliq pantangan untuk berbuat tercela, dan Merang, rasa malu jika melanggar aturan. “Dan Rosiady adalah cermin dari tiga hal itu,” ujar Sajim.
Kini, masyarakat Sasak menanti bukan sekadar putusan pengadilan, tapi pembuktian apakah hukum di NTB masih punya hati.