Mataram – Samota digadang-gadang menjadi ikon baru NTB. Sirkuit MXGP yang dibangun megah dengan dana publik dipromosikan sebagai pintu masuk wisata dunia. Tapi siapa sangka, di balik gemerlap lintasan balap internasional itu, terselip aroma busuk dugaan korupsi.
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) kini tengah menyisir aliran uang Rp53 miliar dari pembelian lahan seluas 70 hektare di kawasan wisata Samota, Sumbawa. Lahan ini dibeli Pemkab Sumbawa menggunakan APBD 2023 dengan dalih pembangunan infrastruktur sport tourism.
Namun yang mencuat bukan prestasi, melainkan kecurigaan publik. Harga lahan diduga melambung tinggi dan tak sesuai nilai pasar. Celakanya, dugaan permainan ini melibatkan sejumlah pejabat daerah dan pihak penjual yang tak asing di panggung politik NTB.
“Iya, ini masih penyidikan,” kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB, Muh. Zulkifli Said, saat dikonfirmasi, Kamis (19/10). Ia mengakui sejumlah pejabat Pemkab Sumbawa telah diperiksa, namun memilih untuk tidak menyebut nama siapa pun. “Biar proses berjalan dulu, takutnya ada yang menghilangkan barang bukti,” ujarnya.
Kejati NTB pun menggandeng BPKP untuk menghitung potensi kerugian negara. Dugaan awal penyidik: ada mark up harga dan penyalahgunaan wewenang. Salah satu pihak yang kerap dipanggil dalam pemeriksaan adalah mantan Bupati Lombok Timur, M. Ali Bin Dachlan — pemilik lahan yang kini menjadi titik panas dalam kasus ini.
Jangan Jadi Sandiwara
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Prof. Zainal Asikin, menyebut bahwa kasus ini bukan sekadar masalah administrasi. “Jika terbukti ada mark up, maka ini bentuk pelanggaran hukum keuangan negara. Penegak hukum tidak boleh berhenti di ‘janji penanganan’. Ini bukan panggung sandiwara,” ujarnya tajam.
Ia juga mengingatkan publik untuk tidak terlena oleh narasi pembangunan. “Kata ‘pembangunan’ sering dijadikan selimut untuk menutupi permainan kotor. Ini saatnya hukum bicara, bukan panggung politik yang mendominasi.”